Wangi yang Mengakar: Sebuah Puisi tentang Bau Ketiak

ketek

Sebuah puisi kontemplatif tentang bau ketiak sebagai bagian dari narasi tubuh dan kehidupan manusia yang paling jujur dan mendasar. 

Refleksi tentang aroma tubuh sebagai cerita kehidupan>


Bagian I: Aroma Kehidupan

Aroma ini bukanlah pewangi ruangan
atau parfum mahal dalam botol kristal,
ia datang dari sudut tubuh yang tersembunyi,
dari lipatan sejarah manusia yang purba.

Di ketiak, keringat menetes,
membawa cerita-cerita tubuh yang bekerja:
petani yang membajak sawah,
penambang yang masuk perut bumi,
ibu yang menggendong anak sambil memasak,
atlet yang mengejar garis finish.

Bau ini adalah peta kehidupan,
jejak biologis yang menceritakan:
apa yang telah kita makan,
berapa lama kita bergerak,
betapa kita manusia yang hidup.


Bagian II: Simfoni Bakteri

Di sana, di lembah ketiak yang hangat,
miliaran bakteri menari,
mengurai keringat tanpa lemak,
menciptakan senyawa-senyawa organik.

Mereka tidak tahu malu atau jijik,
mereka hanya hidup sebagaimana adanya,
melakukan tugas mikroskopis mereka,
mengubah yang sederhana menjadi kompleks.

Inilah orkestra tak terlihat,
simfoni kehidupan dalam skala mikro,
setiap bakteri adalah pemusik,
dan bau adalah lagu mereka.


Bagian III: Sejarah dalam Aroma

Nenek moyang kita mengenal aroma ini,
sebelum deodoran mengubah segalanya,
bau tubuh adalah bahasa,
penanda kesehatan, kesuburan, identitas.

Di desa-desa yang jauh dari kota,
bau ketiak adalah bagian dari keseharian,
bersama asap kayu bakar dan tanah basah,
ia menyatu dalam memori kolektif.

Ia mengingatkan kita pada asal-usul,
pada tubuh kita yang bumiwi,
yang bernafas, berkeringat, dan hidup,
tanpa malu akan kealamiannya.


Bagian IV: Budaya dan Penolakan

Kini kita hidup dalam dunia yang steril,
di mana bau alami dianggap aib,
kita menyembunyikan, menutupi, meniadakan,
seolah tubuh ini harus seperti plastik.

Industri parfum dan deodoran berbisik:
"Kamu harus wangi seperti bunga,
seperti buah-buahan tropis,
seperti sesuatu yang bukan dirimu."

Tapi di balik penolakan itu,
ada kebenaran yang menuntut diakui:
bahwa tubuh kita punya narasinya sendiri,
bahwa keaslian punya aromanya sendiri.


Bagian V: Filsafat Bau

Bau ketiak mengajarkan penerimaan,
bahwa hidup tidak selalu harum,
bahwa ada keindahan dalam kejujuran,
bahwa tubuh yang bekerja layak dihormati.

Ia adalah penanda keberadaan,
bukti bahwa kita pernah bergerak,
berusaha, berjuang, berkeringat,
menjadi bagian dari aliran kehidupan.

Dalam baunya yang tajam dan menusuk,
ada kebenaran yang tidak bisa dibungkam:
kita adalah makhluk biologis,
dengan segala kompleksitas dan realitasnya.


Bagian VI: Puisi untuk Setiap Ketiak

Untuk ketiak penari yang basah oleh gerak,
Untuk ketiak guru yang mengangkat kapur tulis,
Untuk ketiak nelayan yang berbau garam laut,
Untuk ketiak penulis yang berjam-jam duduk.

Masing-masing punya cerita,
masing-masing punya sejarah,
masing-masing adalah bagian dari manusia,
dengan segala keunikan dan kemanusiaannya.

Bau mereka adalah autobiografi tubuh,
ditulis dalam molekul-molekul organik,
dibaca oleh hidung yang peka,
diingat oleh memori yang dalam.


Bagian VII: Melampaui Jijik

Jika kita bisa melampaui rasa jijik,
jika kita bisa mendengarkan lebih dalam,
bau ketiak bicara tentang kehidupan,
tentang proses, perubahan, transformasi.

Ia adalah bagian dari siklus alam,
dari apa yang masuk dan keluar dari tubuh,
dari interaksi kita dengan dunia,
dari kenyataan bahwa kita adalah ekosistem.

Dalam baunya yang kompleks,
ada pelajaran tentang keberanian,
untuk hidup dengan jujur,
tanpa menyembunyikan esensi kita.


Bagian VIII: Penutup: Aroma yang Mengikat

Bau ketiak adalah benang tak terlihat,
yang mengikat kita pada kemanusiaan bersama,
pada realitas tubuh yang kita bagi,
pada pengalaman menjadi makhluk hidup.

Ia mengingatkan kita,
bahwa di balik perbedaan budaya dan kelas,
kita sama-sama memiliki tubuh,
yang bernafas, berkeringat, dan beraroma.

Mari menghormati aroma ini,
sebagai bagian dari keberadaan,
sebagai tanda bahwa kita hidup,
sebagai bukti bahwa kita manusia.

Bukan untuk diagungkan,
bukan pula untuk dijauhi,
tapi untuk dipahami sebagai bagian,
dari mosaik kompleks kehidupan.


Catatan Penulis:

Puisi ini adalah refleksi tentang bagaimana bau tubuh, khususnya bau ketiak, berbicara tentang keberadaan manusia yang paling mendasar. Dalam dunia yang semakin terasa artifisial, mengakui dan memahami aspek-aspek alami tubuh kita bisa menjadi bentuk penerimaan diri yang mendalam. Setiap tubuh memiliki ceritanya, dan setiap aroma adalah bagian dari narasi itu.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Wangi yang Mengakar: Sebuah Puisi tentang Bau Ketiak"

Posting Komentar

Semua komentar yang masuk saya moderasi, hal ini untuk menghindari spam dan informasi yang tidak berkaitan dengan topik pembahasan.
Silahkan berkomentar dengan bijak.