Puisi: Biarkan Aku Bercerita Tentang Jigong Gigi yang Tahan Seribu Tahun

puisi jigong

Sebuah Puisi

Aku bukanlah batu nisan yang dingin,
atau puing candi yang bisu.
Aku adalah Jigong,
yang menyimpan riuh dunia dalam diamku.
Tiap lekuk tubuhku adalah peta,
menghitung jejak langkah yang tak terbilang.

I. Dari Tanah dan Api, Aku Lahir

Dulu, aku hanya tanah liat yang bisu,
tersembunyi dalam rahim bumi yang gelap.
Lalu datanglah tangan-tuan itu,
dengan ilmu yang mengalir dari jemari.
Dibentuk, dipijat, diberi jiwa.
Bukan dengan mantra, melainkan dengan kesabaran.

Lalu, masuklah aku ke dalam perapian.
Bukan neraka, tetapi sebuah kelahiran kembali.
Api yang membakar bukan untuk menghancurkan,
tetapi untuk menguatkan, menyatukan debu-debu menjadi satu nyawa yang keras.
Dentang logam pun tak membuatku gentar,
aku lahir dari sesuatu yang lebih panas: tekad.

Kini, bentukku telah sempurna.
Kepala yang datar, badan yang ramping, pundak yang kokoh.
Di tubuhku, melekat bintik-bintik hitam pasir besi,
seperti bintang-bintang yang terjatuh dan memilih tinggal di kulitku.
Warnaku? Coklat tua, seperti bumi setelah diguyur hujan,
atau seperti teh pekat yang telah bertahun-tahun diseduh.
Itulah aku: Jigong. Sandaran bagi gigi-gigi yang akan mengunyah sejarah.

II. Bukan Sekadar Batu Pijakan

Mereka menyebutku ‘Jigong’,
batu alas, landasan yang diam.
Tapi dengarkanlah,
diamku bukanlah ketiadaan.
Diamku adalah kesiapan.
Aku adalah pangkal dari segala gerak.

Pada mulanya adalah aku.
Sebelum tarian gergaji memecah kayu,
sebelum kapak menemukan iramanya,
sebelum pahat menari mengukir cerita,
merekalah yang pertama bertemu denganku.
Kaki-kaki mereka, kuat dan penuh keyakinan,
menjejakku, mengukur tekanan,
mencari titik keseimbangan yang sempurna.
Aku adalah bumi kecil yang mereka bawa ke mana pun,
pondasi portabel bagi segala ciptaan.

Aku merasakan getaran pertama,
saat mata kayu ditegakkan di atas bahuku.
Aku yang menahan beban awal,
sebelum sambungan-sambungan itu saling berpeluk erat.
Keringat mereka meneteskad di pinggiranku,
menyatu dengan debu, menjadi bagian dari upacara pembangunan.
Tanpaku, kayu itu akan bergoyang, tak pasti.
Tanpaku, garis tegak lurus akan menjadi mimpi.
Aku adalah kepastian pertama di tengah lautan ketidakpastian bahan mentah.

III. Persembunyian yang Mulia

Setelah karya selesai,
setelah bangunan berdiri megah,
aku menghilang.
Tersembunyi di balik dinding,
terkubur di bawah lantai,
terselip di sudut pertemuan yang tak terlihat.
Namun, ketahuilah,
keberadaanku tak pernah sirna.

Aku tetap di sana,
masih menopang, masih menahan,
masih menjadi saksi bisu dari dalam.
Ratusan tahun berlalu,
manusia yang membangun telah menjadi debu,
bangunan itu mungkin berganti rupa,
tetapi aku seringkali tetap tinggal.
Seperti sumpah setia yang tak pernah diucapkan,
tapi dipegang hingga akhir zaman.

Di balik lapisan plester yang retak,
di balik cat yang mengelupas,
di sanalah aku, masih setia pada posisiku.
Aku adalah memori tersembunyi dari sebuah bangunan.
Jiwa yang tak terlihat, tapi membuat segalanya terlihat mungkin.

IV. Dialog dengan Waktu

Waktu mengujiku dengan pelan dan pasti.
Lembab yang menyusup, panas yang memuai,
dingin yang menyusutkan, gempa yang menggoyang.
Tapi api kelahiranku telah memberikanku sifat batu.
Aku tak mudah lapuk seperti kayu,
tak mudah berkarat seperti besi.
Usiaku bisa mencapai seribu tahun,
bahkan lebih.

Dalam diamku yang panjang,
aku menyimpan begitu banyak cerita.
Aku mendengar bisik-bisik tukang dari dinasti yang telah runtuh.
Aku merasakan getaran dari kota yang semakin ramai.
Aku menahan beban dari lantai-lantai yang ditambahkan.
Aku adalah hard disk zaman baheula,
menyimpan data konstruksi dalam bentuk fisik.

Kadang, saat bangunan tua dibongkar,
aku ditemukan kembali.
Orang akan mengangkatku, membersihkan debu,
dan bertanya-tanya, “Ini dari zaman apa, ya?”
Aku tak menjawab dengan kata-kata,
tetapi dengan keberadaan.
Kehadiranku yang utuh adalah cerita itu sendiri.
Bukti bahwa yang sederhana, jika dibuat dengan sungguh-sungguh,
bisa mengalahkan waktu.

V. Filsafat Sebuah Landasan

Lihatlah aku.
Bentukku sederhana, tak ada hiasan.
Fungsiku jelas, tanpa embel-embel.
Aku adalah pengingat akan prinsip dasar:
bahwa segala sesuatu yang besar dan tinggi,
memerlukan landasan yang kuat dan rendah hati.
Aku tidak ingin dipuji,
karena pujian adalah untuk mahkota, bukan untuk fondasi.
Kepuasanku datang dari pengetahuan,
bahwa di atas keandalanku, karya agung bisa berdiri tegak.

Dalam dunia yang serba cepat dan instan,
di mana segala sesuatu dirancang untuk tergantikan,
aku mewakili nilai yang berbeda:
ketahanan, keandalan, kesetiaan pada fungsi.
Aku tidak usang.
Aku justru menjadi semakin berharga seiring dengan usianya.
Di setiap serat tanah liat yang membentukku,
terkandung pelajaran tentang komitmen dan ketekunan.

Aku mengajarkan bahwa yang tak terlihat pun penting.
Bahkan, seringkali yang tak terlihatlah
yang menentukan kokoh tidaknya sesuatu yang terlihat.
Seperti akar bagi pohon,
seperti fondasi bagi gedung,
seperti prinsip bagi kehidupan.

VI. Epilog: Jigong di Zaman Now

Kini, di era beton dan baja,
peranku mungkin bergeser.
Tapi jangan dikira aku punah.
Rohku hidup dalam setiap pondasi yang dihitung dengan cermat,
dalam setiap alas mesin yang harus stabil,
dalam setiap prinsip dasar yang harus ditegakkan sebelum membangun mimpi.

Manusia mungkin tak lagi membentukku dari tanah liat dan membakarnya,
tetapi mereka masih menciptakan ‘jigong-jigong’ modern
dari bahan dan untuk kebutuhan yang baru.
Intinya tetap sama:
mencari titik tumpu yang pasti,
menciptakan landasan yang tak goyah.

Jadi, lain kali kau melihat sebuah bangunan tua yang masih berdiri kokoh,
atau karya kayu yang rumit dan presisi,
ingatlah bahwa mungkin,
di suatu tempat yang tersembunyi,
aku, atau saudara-saudaraku dari masa lalu,
masih setia menjalankan tugas.
Diam, kokoh, dan abadi.

Aku adalah Jigong.
Bukan pahlawan yang disebut dalam kidung,
bukan raja yang namanya terpahat.
Aku adalah penopang yang diam,
saksi yang setia,
dan landasan yang bertahan…
untuk seribu tahun, dan lebih lama lagi.

Catatan untuk Pembaca Blog:

Puisi naratif panjang ini adalah eksplorasi puitis dan filosofis tentang Jigong, sebuah elemen penting dalam arsitektur dan kriya kayu tradisional. Karya ini ditulis sebagai konten orisinal yang mendalam, mencoba menghidupkan benda yang sering terlupakan menjadi sebuah narasi yang penuh makna tentang ketahanan, kesetiaan, dan nilai-nilai dasar kehidupan.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Puisi: Biarkan Aku Bercerita Tentang Jigong Gigi yang Tahan Seribu Tahun"

Posting Komentar

Semua komentar yang masuk saya moderasi, hal ini untuk menghindari spam dan informasi yang tidak berkaitan dengan topik pembahasan.
Silahkan berkomentar dengan bijak.