Simfoni Samar Dari Bumi Kedua: Refleksi Puitis tentang Proses Alami

hitut

Sebuah puisi panjang dan refleksi filosofis tentang proses biologis manusia, dikemas dalam bahasa metaforis yang mendalam dan penuh makna.

Simfoni Samar Dari Bumi Kedua
Sebuah Ode untuk Proses yang Tak Terucap

Kita mulai dari hal yang tak terucap, dari yang ditahan dalam rapat penting, dalam lift yang sunyi, dalam doa yang khidmat. Ia adalah tamu tak diundang yang hadir dengan protokolnya sendiri, mengabaikan kelas sosial, zaman, dan segala kesopanan yang dibangun peradaban. Mari kita telusuri narasinya, bukan sebagai lelucon kasar, tetapi sebagai puisi biologis yang intim, simfoni samar dari bumi kedua kita.

Bagian I: Geografi Tubuh yang Berdegup

Di dalam katedral gelap tubuh,
di laboratorium tanpa cahaya,
sejuta ragi dan bakteri bersauh.
Mereka adalah tukang-tukang mikroskopis yang tak kenal lelah,
mengurai puing-puing biji-bijian, sisa-sisa karbohidrat,
menjadi gas-gas tak terlihat: nitrogen yang pendiam,
karbondioksida yang universal, hidrogen yang mudah terbakar,
dan metana, si senyawa purba, napasnya rawa-rawa dan perut kita.

Ini adalah fermentasi, doa pagan dalam usus,
proses alkimia yang mengubah roti jadi angin,
kacang jadi lagu, susu jadi letusan kecil.
Setiap gigitan adalah perjanjian:
kita memberi mereka suaka, mereka memberi kita tenaga,
dan sebagai tanda terima, mereka menitipkan gelembung,
balon-balon mikro yang berarak pelan
melalui labirin panjang yang berdeguk,
menuju satu-satunya pintu keluar yang mungkin.

Bagian II: Filosofi Penahanan dan Pelepasan

Lalu, di sinilah drama manusiawi itu terletak:
pada ketegangan antara menahan dan melepas.
Di tengah ujian yang sunyi, di tengah pertunjukan violin,
ada tekanan yang merayap, diplomat gas yang mendesak audiensi.

Kita belajar sejak kecil: ini aib, ini memalukan.
Kita kencangkan otot-otot sfingter, benteng terakhir kesopanan.
Kita hitung mundur, atur strategi: bisakah disalurkan perlahan,
diam-diam seperti ninja? Atau harus dievakuasi mendadak
dengan risiko bunyi seperti terompet kertas rusak?

Tapi lihatlah seekor anjing. Ia melakukannya dengan bangga,
lalu berlari pergi. Atau bayi, yang tertawa girang
setelah mengeluarkan bunyi kecil dari popoknya.
Bagi mereka, tidak ada dosa, tidak ada malu.
Hanya tubuh yang berfungsi, alam yang bekerja.
Kita, yang terjepit antara kodrat dan budaya,
antara kebenaran biologis dan konstruksi sosial,
menjadi aktor tragikomik dalam sandiwara sehari-hari.

Bagian III: Spektrum Suara dan Makna

Dan oh, spektrum akustiknya! Ini adalah orkestra tanpa dirigen.
Ada yang solo, seperti suling bambu di senja,
pendek, tunak, seolah bertanya. Ada yang koor,
berlapis-lapis, bergemuruh seperti suara jauhnya guntur,
atau seperti gesekan bass yang dalam.

Ada yang berbunyi “prrt” singkat, pernyataan tegas.
Ada yang berdesis panjang, argumentasi yang bertele-tele.
Ada yang pecah seperti bubble wrap, riang dan main-main.
Setiap varian adalah puisi bunyi sendiri,
cerita tentang tekanan, kecepatan, dan geometri jalan keluar.
Bunyi itu bukan musuh—ia hanya vibrasi udara,
saksi dari proses yang tak terlihat di dalam.

Lalu, ada dimensi aroma, elemen yang paling puitis sekaligus paling dikutuk.
Aromanya bisa seperti telur yang tersenyum tipis,
atau seperti kubis yang bernostalgia.
Bisa subtil seperti angin yang lewat di sawah,
atau tajam seperti peringatan kimiawi.
Setiap wewangian (atau “kebauan”) ini adalah signature,
kartu nama dari bakteri tertentu, laporan tentang apa yang kita makan.
Ia adalah parfum paling jujur, yang menolak untuk berbohong.

Bagian IV: Melihat Melampaui Tabu: Sains dan Kesehatan

Mari sejenak menjadi ilmuwan. Gas ini adalah penanda.
Mereka adalah utusan dari dunia bawah sadar tubuh kita.
Volume dan frekuensi yang berlebihan adalah puisi protes,
surat terbuka dari usus tentang intoleransi laktosa,
tentang perang dengan oligosakarida pada kacang-kacangan,
tentang perlawanan terhadap gluten.

Mereka yang bisu total, justru mengkhawatirkan.
Itu mungkin berarti sumbatan, peta yang terputus,
jalan yang macet total. Kehadiran mereka yang teratur
adalah lagu tentang pergerakan, tentang sistem yang hidup.
Dokter dari zaman kuno sampai modern mendengarkan
(secara metaforis) bunyi dan bau ini sebagai diagnosis,
membacanya seperti puisi yang menceritakan kesehatan atau penyakit.

Bagian V: Metafora untuk Kehidupan

Maka, jadikanlah proses alami ini sebuah metafora.
Ia adalah pelepasan yang diperlukan.
Berapa banyak “kentut emosional” yang kita tahan?
Kekecewaan, kritik, kebenaran yang pahit, tawa yang meledak.
Semua ditahan karena tata krama, karena takut menyinggung,
karena ingin terlihat mulus, sempurna, tanpa cela.

Tapi tubuh mengajari kita: yang tertahan akan mencari jalan.
Ia akan menekan diafragma, membuat hati tidak nyaman,
menciptakan kembung di jiwa. Pelepasan, dengan segala risikonya,
membawa kelegaan. Melepaskan kata-kata yang penting,
melepaskan tangisan yang lama disimpan, melepaskan tawa ngakak,
adalah kebenaran psikologis yang setara.

Ia mengajarkan kerendahan hati. Ia mengingatkan,
bahwa di balik jas Armani, di bawah mahkota,
di dalam mobil mewah, ada usus yang sedang bekerja,
ada ekosistem yang menghasilkan proses yang sama.
Ia adalah pemersatu kemanusiaan yang paling demokratis.
Napas kita mungkin berbeda doa, tapi gas dari perut kita
berasal dari proses yang sama, menyanyikan lagu kehidupan yang sama.

Bagian VI: Ode pada Pelepasan yang Lega

Dan akhirnya, dalam ruang yang aman—kamarmu sendiri,
atau mungkin di tengah hutan—ketika kamu melepaskannya,
ada sebuah kelegaan yang mendalam, sebuah kebebasan.

Itu adalah pengakuan diam-diam pada diri sendiri:
“Aku adalah makhluk biologis. Aku hidup. Aku berproses.”
Itu adalah tanda bahwa sistem pencernaanmu bernyanyi,
bahwa mikroba-mikroba kecil itu sedang berpesta.
Dalam kelegaan itu ada kepasrahan, ada penerimaan,
ada sebuah puisi pendek tentang menjadi manusia—
yang rumit, yang sopan, tetapi pada akhirnya,
harus kembali pada naluri alamiahnya untuk melepaskan,
untuk membiarkan angin kecil dari dalam itu pergi,
kembali ke atmosfer, menyatu dengan udara,
menjadi bagian dari siklus yang lebih besar lagi.

Penutup: Simfoni yang Terus Berkumandang

Jadi, lain kali kamu merasakan desakannya,
dengarkanlah. Itu adalah tubuhmu menulis puisi.
Puisi tentang apa yang kamu makan, tentang bagaimana kamu hidup,
tentang perjalanan panjang dari mulut ke bumi.
Jangan selalu malu. Tertawalah, jika memang lucu.
Maafkanlah, jika itu orang lain. Ini adalah biologi,
bukan moralitas. Ini adalah simfoni samar dari bumi kedua,
dari dunia bawah yang gelap namun produktif,
yang terus berkumandang, mengingatkan kita,
bahwa kehidupan—dalam segala bentuknya—selalu bergerak,
bernafas, berfermentasi, dan pada waktunya,
melepaskan dirinya, untuk membuat ruang bagi kehidupan baru.

Dan di sini, kita membicarakannya dengan jujur,
sebagai bagian dari memahami diri yang utuh,
dari ujung kepala sampai ke proses alami
yang membuat kita tetap rendah hati, tersenyum,
dan manusiawi sepenuhnya.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Simfoni Samar Dari Bumi Kedua: Refleksi Puitis tentang Proses Alami"

Posting Komentar

Semua komentar yang masuk saya moderasi, hal ini untuk menghindari spam dan informasi yang tidak berkaitan dengan topik pembahasan.
Silahkan berkomentar dengan bijak.